Katakan
padaku bagaimana kamu mampu membuat hatiku jatuh padamu.
Kemudian jelaskan
mengapa tidak sedikitpun kamu berusaha mengambilnya, bahkan tak sekalipun
mencoba melihatnya.
Melihat luka yang tergores di sana.
Tidakkah jelas itu
bagimu?
Tak cukupkah luka itu melunakkan hatimu?
Dan aku semakin tidak
mengerti.
Luka itu tak pernah mampu mengering seutuhnya.
Ketika aku berusaha
mati-matian untuk itu, terlukis senyum di wajah itu.
Luka itu tiada terasa
perih.
Namun, ketika pendengaranku menangkap satu nama, otakku mulai bekerja, batinku
merintih, dan mataku menahannya agar tetap tersimpan di sana, tidak
membiarkannya mengalir sia-sia.
Luka itu kembali menganga.
Semakin perih,
seperti menabur garam di atasnya. Hanya dengan satu kata, satu nama, namamu.
Bahkan ribuan hari yang ku lalui tanpamu pun masih belum mampu mengeringkan
luka itu.
Kemudian dengan apa?
Apakah penawar luka itu hanya ada padamu dan kau
masih saja enggan memberikannya?
Atau seseorang telah mengambilnya darimu,
kemudian
akan memberikannya padaku suatu saat nanti?
Dan sekarang aku menanti ia datang, baik itu kamu atau seseorang lain.
Menanti tanpa kepastian.
Menanti tanpa
mengetahui apa yang ku nanti.
Berharap luka itu segera pergi seiring hadirnya
penawar.
Meskipun pahit di awal,
akan ada rasa manis pada akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar